_SEPATU YANG BERSEJARAH DALAM HIDUP
UMI_
Oleh
Liawati
Berbicara
tentang sepatu, saya punya cerita unik, lucu,
sedih, juga inspiratif. Kisah ini dialami sendiri oleh umi saya (umi
bisa disebut juga ibu) saat masa-masa sekolah dulu. Kisah dan pengalaman ini
diceritakan langsung oleh umi saya. Mungkin jika dibandingkan dengan zaman
sekarang, setiap orang pasti memiliki sepatu dengan merk yang beraneka ragam bahkan bisa jadi setiap hari
bisa gonta-ganti model dan warnanya. Terkadang sudah jelek sedikit saja rasanya
sudah mau ganti atau beli yang baru. Lain hal dengan pengalaman sepatu yang
dialami oleh umi saya sekitar tahun 1974,
memiliki sepatu adalah sebuah impian dan
harapan dalam hidup. Saat itu umi saya memasuki bangku Sekolah Dasar di
salah satu sekolah daerah desa Cibatok - Bogor, bahagia dan kegembiraan
meliputi diri umi karena bisa merasakan nikmatnya sekolah maklum tidak semua
anak-anak di desa tersebut bisa bersekolah.
Keterbatasan
ekonomi membuat umi harus bersekolah dengan apa adanya bukan ada apanya, tanpa
memiliki banyak peralatan sekolah. Jika dijabarkan mungkin umi hanya memiliki satu
pasang seragam sekolah (rok merah dan baju putih), satu buah buku tulis, satu
buah pensil kayu yang masih diraut menggunakan pisau, satu buah karet yang
diikat diatas pensil untuk menghapus, satu buah kantong plastik sebagai tempat
buku dan pensil, satu buah botol minum
bekas air mineral sebagai tempat minum, satu pasang sandal jepit bukan sepatu mahal,
dan seribu semangat untuk menanti kesuksesan. Lagi-lagi jika dibandingkan dengan
kondisi sekarang mungkin sudah sangat jauh berbeda, mengenaskan dan menyedihkan
memang rasanya. Namun walau dengan peralatan seadanya tapi tidak mengurangi
semangat yang dimiliki umi untuk pergi sekolah menuntut ilmu. Berarti saat ini saya
harus bersyukur karena berada dalam kondisi yang jauh jauh jauh jauh lebih baik.
Aktivitas
yang dilakukan umi setiap harinya adalah berangkat ke sekolah dengan berjalan
kaki, berpuluh-puluh kilometer yang harus dilalui tanpa kendaraan. Jalan berbatu,
licin, becek, menanjak, dan berliku menjadi saksi atas masa-masa itu. Tidak sedikitpun
mengenal lelah, yang ada hanya canda tawa, kebersamaan dengan teman-teman yang
lain menjadi salah satu semangat tersendiri untuk umi. Sesampai di sekolah, umi
selalu duduk di bangku deretan terdepan meskipun saat itu satu bangku harus di
isi oleh empat orang dan dempet –
dempetan sepertinya memang agak sempit tapi hal itu tidak jadi masalah bagi
murid-murid di sekolah tersebut yang terpenting mereka bisa sekolah dan belajar.
Buku gado-gado adalah julukan untuk buku yang dimiliki umi bukan karena isinya
sayur mayur atau bumbu kacang tapi karena satu buku untuk campur - campur semua
mata pelajaran sehingga disebut buku gado-gado. Oleh sebab itu umi selalu
khawatir jika turun hujan, karena jika hujan ia takut buku satu-satunya itu
terkena air kemudian basah dan robek. Umi
selalu siap membawa banyak kantong plastik untuk buku dan seragam sekolahnya. Seragam
sekolah hanya punya satu pasang, oleh sebab itu
terkadang umi buru-buru untuk ganti pakaian dan mencucinya sendiri agar
esok bisa dipakai kembali. Aktivitas tersebut dilakuan umi setiap harinya hingga
duduk di bangku kelas VI (enam) SD.
Beranjak
memasuki usia ke-10 tepatnya kelas IV (empat) SD, umi mulai memperhatikan
teman-teman yang lainnya. Beberapa teman dikelas sudah banyak yang berubah
kearah yang lebih baik, misalnya sudah ada yang memakai sepatu, buku sudah
banyak dan tidak gado-gado, memiliki tas, dan sebagainya. Bahkan hampir seluruh
temannya sudah memakai sepatu dan hal ini membuat umi sedikit merasa sedih
karena melihat teman-teman yang lain. Wajar saja namanya juga masih kecil ketika
melihat orang lain punya sesuatu jadi kepengen punya juga. Mungkin jika kita
semua juga berada di posisi umi pasti akan merasakan kesedihan seperti itu
apalagi kondisinya masih anak-anak yang masih polos dan belum mengerti apa-apa.
Kesedihan yang di rasakan umi saat itu tidak akan merubah apa yang di mau oleh umi,
meski memiliki keinginan besar untuk punya sepatu seperti yang lainnya tapi
bagi umi itu hanya sekedar mimpi belaka bahkan jauh dari kenyataan entah sampai
kapan harus menunggu seperti ini, “uang
jajan ge kadang dibere kadang henteu, lamun menta sapatu oge henteu di
pangmeulikeun ku umi jeung bapak (untuk uang jajan saja kadang di kasih kadang
enggak apalagi minta sepatu pasti gak akan di beliin oleh ibu dan bapak)”
ujar umi dalam hati. Kondisi nenek dan kakek saya yang saat itu memang hanya
sebagai petani dan memiliki banyak urusan yang harus lebih diprioritaskan membuat
umi jarang sekali mendapatkan uang saku dari mereka. Setiap kali berangkat dan
pulang sekolah, umi selalu memperhatikan sepatu teman-temannya dengan mupeng
(muka pengen _ red) kadang kala umi ketika di dalam kelas suka meminjam sepatu
temannya untuk dicoba-coba. Hal itu dilakukan agar tau bagaimana rasanya pakai
sepatu.

“umi, edah hayang
sapatu jeung ka sakola jiga babaturan nu lain (ibu, edah mau sepatu buat ke
sekolah seperti teman – teman yang lainnya)” ujar umi pada
nenek.
“engke weuh lamun bapa
boga rezeki, ayeuna mah henteu aya acis, sing sabar atuh neng (nanti aja ya jika bapak punya rezeki,
sekarang tidak punya uang, yang sabar ya neng)”
jawab nenek saya pada umi
Umi
berusaha untuk tidak sedih karena memang kondisinya ya seperti itu, walaupun
dipaksakan tetap saja tidak akan dibelikan. Hanya berusaha untuk terus tetap
berdoa pada Sang Maha Pencipta Langit dan Bumi, Allah SWT agar bisa punya
sepatu. Mungkin saja mimpi bisa jadi kenyataan.
Suatu
hari kakek (bapaknya umi) pergi ke kota untuk menemui saudara yang kebetulan
bekerja di daerah Jakarta. Pagi-pagi kakek sudah berangkat dengan menggunakan
angkutan umum, ada hal yang mencengangkan yaitu kakek tidak pernah mau pakai
alas kaki sampai-sampai jika diperhatikan telapak kaki kakek saya itu sampai
mengeras dan sepertinya sudah kebal dari panasnya aspal dan tajamnya duri di
jalan hal ini masih dilakukan sampai detik ini dan saya bisa melihat buktinya
bahwa kakinya memang sudah keras dan kebal. Luar biasa!! Belum lagi harus
berjalan sampai ke kota hingga menemukan angkutan umum, padahal jaraknya
lumayan sangat jauh dari rumah ke pusat kota atau kendaraan umum. Sekitar 2
hari kakek berada di Jakarta, entah apa yang dilakukan, mungkin mencari
pekerjaan untuk menghidupi keluarga agar lebih baik lagi tapi ternyata bukan itu yang dilakukan justru kakek hanya ingin sekedar berbagi cerita pada saudaranya bahwa anaknya sedang membutuhkan sepatu. Sampai di Jakarta kakek menceritakan kondisi
umi yang menginginkan sepatu dan syukurnya saudara yang di Jakarta punya sepatu
yang sudah tidak terpakai. Setelah dua hari kemudian tepatnya sore hari
menjelang malam kakek pulang dengan wajah yang sumringah atau bahagia sambil
menggenggam kantong plastik berwarna hitam di tangan kanannya sedangkan tangan
kirinya memegang botol minuman untuk pelepas dahaga. Saat itu pula umi langsung
berteriak menyambut kedatangan kakek yang sedari pagi tadi di tunggu-tunggu
kedatangannya oleh umi.
“horeee bapa uih ti
jakarta, mawa naon pa? (hore bapak pulang dari jakarta, bawa apa pak?)” teriak
umi seraya menghampiri kakek
“bapa mawa sapatu jeung
edah ti wa Rohadi (bapak bawa sepatu buat edah dari wa rohadi)”
jawab kakek

“bapa nuhun sapatuna, ayeuna mah
edah bisa pake sapatu ka sakola, suku edah henteu nyeri deui lamun leumpang (bapak
makasih sepatunya, sekarang edah bisa pakai sepatu ke sekolah, kaki edah tidak
sakit lagi kalau berjalan)” ujar umi pada kakek
“bapa henteu bisa meulikeun sapatu
anyar jeung edah, iye weuh ti wa rohadi sapatu kiyeu (bapak tidak bisa
memberikan sepatu baru buat edah, ini aja dari wa rohadi sepatu seperti ini)”
jawab kakek
Keesokan harinya umi memakai sepatu
tersebut ke sekolah tapi tanpa kaos kaki karena memang tidak punya kaos kaki. Bagian
dalam depan sepatu diberi sedikit kertas
atau diganjal dengan kertas agar tidak kegedean dan bisa dipakai. Setapak demi
setapak jalan menuju sekolah terus dilalui ketika itu pula sepanjang jalan umi
selalu melihat kebawah untuk memperhatikan sepatu yang dipakainya. Maklum sepatu
baru jadi terus diperhatikan. Walau memakai sepatu tanpa kaos kaki tapi umi
tetap percaya diri. Sesampainya di
sekolah teman - teman yang lain memperhatikan sepatu yang dipakai umi dan salah
satu teman umi berkata “edah boga sapatu,
edah boga sapatu, sapatu butut (edah punya sepatu, edah punya sepatu, sepatu
jelek)” ejek salah satu teman di kelas
Umi
mencoba tidak mendengarkan apa yang mereka katakan yang penting umi bisa pakai
sepatu ke sekolah. Kemudian karena saat itu sering sekali turun hujan jadi umi selalu
membawa kantong plastik cadangan untuk tempat sepatu dan peralatan yang lainnya
(buku dan seragam) agar tidak basah karena jika sepatunya basah maka besok ke
sekolah tidak bisa pakai sepatu lagi maklum hanya punya satu.
Sebenarnya kondisi sepatu tersebut
sudah tidak layak pakai, hal ini membuat umi
terus merawat dan menjaga agar kondisinya tidak rusak, oleh sebab itu umi
selalu tetap berjalan tanpa alas kaki ke sekolah agar sepatu tetap awet dan
tahan lama tapi sesampainya di sekolah sepatu tersebut langsung di pakai
kembali. Terkadang pula umi memakai sepatu tersebut dengan di double kantong plastik
(sepatu dipakai kemudian diluarnya umi pakai kantong plastik) agar tidak kotor
terkena tanah becek dijalan. Baru saja selesai satu permasalahan (tentang
keinginan umi yang kepengen punya sepatu) ternyata muncul masalah baru yaitu karena sebenarnya dianjurkan untuk menggunakan
sepatu berwarna hitam di sekolah sedangkan sepatu umi berwarna putih
kecokelatan, hal ini membuat sedikit agak berbeda dengan yang lainya. Setiap kali pulang
kerumah umi selalu memikirkan bagaimana cara agar sepatu yang dimiliknya berwarna
hitam seperti teman – teman yang lainnya dan ternyata sepatu tersebut disulap oleh
umi menjadi warna hitam, tahu dengan apa? Dengan cara menggosokan arang bekas
kayu bakar ke sepatu, umi berusaha untuk menggosokan arang tersebut ke
permukaan atas sepatu agar berwarna hitam dan hasilnya pun sepatu tersebut
menjadi berubah berwarna hitam seperti arang.
Jika dipikir-pikir memang konyol
apa yang dilakukan umi tapi sangat cerdas idenya. Cerdas bukan main ide yang
dimiliki umi, berbagai cara ia lakukan demi sepatu kesayangannya. Jika arang
yang ada di sepatunya luntur terkena air maka saat itu pula umi langsung
menggosokannya kembali menggunakan arang, sebenarnya lucu tapi sedih dan miris
juga ya kalau kita berada di posisi seperti itu.
Sepatu tersebut bertahan dan awet
sampai umi memasuki usia ke 12 atau duduk dibangku kelas VI (enam) SD. Sepatu
tersebut yang selalu menjaga kaki umi agar terhindar dari panasnya jalan. Sepatu
tersebut menjadi sejarah betapa penuh perjuangan untuk menjadi orang sukses
ditengah keterbatasan ekonomi dalam keluarga.
Saat
ini, kondisi umi sudah jauh jauh jauh lebih baik dibanding zaman kecilnya atau dapat dikatakan masa-masa tersulit waktu
dulu. Kini, umi sudah memiliki tiga orang anak dan hal yang selalu diperhatikan
untuk anak-anaknya adalah tentang sepatu. Ketika sudah terlihat tidak layak
pakai maka ia akan segera menggantikan
sepatu anak-anaknya dengan sepatu yang baru. Ternyata kisah sepatu yang pernah
umi alami zaman kecil dulu terus diingat
sampai detik ini, bahkan ia tidak mau anak-anaknya harus merasakan kondisi
seperti itu makanya kadang umi suka bawel kalau berurusan dengan sepatu (bawel
tanda perhatian dan sayang). Kisah sepatu umi menjadi pembelajaran yang
berharga untuk hidup saya. Saya belajar bagaimana harus bersabar, belajar
bagaimana harus tetap semangat walau keinginan belum bisa terpenuhi, saya
belajar bagaimana menjadi orang yang kuat dan tidak cengeng, saya belajar
menghargai orang lain, saya belajar menjadi orang yang cerdas dan penuh ide,
dan yang terpenting adalah saya belajar bersyukur dengan kondisi yang saya
dapat hari ini. Terima kasih umi..
_Liawati Anakumi_
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih sudah mau mampir di Blog ALmasyuq, untuk menjalin silaturahim dan saling kunjung silahkan tinggalkan jejak blogger di komentar ini.. thankiu. Selamat Berkarya Blogger Indonesia!!